My Rainbow Dreams

Just Blogger Templates

Rabu, 06 Agustus 2014

Tak Seindah Melodi Gitar






Aku sedikit mereka-reka apa yang akan ku bicarakan jika bertemu dengannya. Ku pacu sepeda motor yang selalu menemaniku lebih cepat, tentunya agar aku lebih lama bersamanya. Tak lupa, aku menilik kenangan yang telah berlalu. Memastikan bahwa rasa cinta yang pernah ada sudah hilang. Ternyata, semua rasa sakit itu masih menyisakan rasa yang tak pernah terlupakan. Teriknya matahari, kotornya debu jalanan yang beterbangan dan ramainya lalu lalang kendaraan tak sedikitpun menggoyahkan niatku untuk menemuinya. Aku benar-benar ingin tahu bagaimana keadaannya. Apakah dia benar baik-baik saja seperti yang ia utarakan dalam pesan singkatnya. Aku rindu.
Aku sudah sampai di mana kami akan bertemu. Tempat makan favorit aku dan dia di salah satu sudut Jogja. Kuamati sekeliling mencari seseorang yang kumaksud. Mungkin dia belum sampai. Langsung aku menuju meja yang masih kosong. Dada berdetak hebat. Tangan dingin dan berkeringat. Aku gugup.
"Kamu dimana dek, aku sudah sampai ini," begitu katanya dari ujung telfon.
"Aku sudah di dalam mas, langsung masuk saja aku pakai kemeja biru."
"Oke," balasnya singkat dan segera menutup telfonnya. Aku tak membayangkan bagaimana tegangnya mukaku. Ku tarik nafas perlahan lalu ku hembuskan lagi setidaknya ini mengurangi rasa gugupku.
"Sofi."
Ada suara yang tak asing menyapaku dari arah belakang. Suara yang hampir dua tahun ini kurindukan. Lembut dan penuh harap.
"Mas Seno, apa kabar? Duduk," ku balas sapaannya sambil kujabat tangannya.
"Tanganmu dingin, grogi ya ketemu aku?" begitu godanya.
"Ha. Ha. Ha. Enggak, tanganku memang sudah terbiasa seperti ini. Kenapa harus grogi bertemu denganmu mas." Sebisa mungkin aku mengelak. Padahal saat itu jantungku terasa berhenti berdetak untuk beberapa detik. Aku susah bernafas. Bagaimana tidak, yang berada di depanku adalah orang yang sangat aku rindukan. Orang yang sempat bersama-sama membangun impian yang sama. Meski semua impian sudah runtuh namun rasa cinta tak begitu saja luluh lantah. Justru rasa itu terus kokoh berdiri meski tuannya pergi tak kembali.
"Kamu sekarang sudah banyak berubah ya dek," katanya sambil mengamatiku.
"Enggak mas, aku masih sama seperti yang dulu. Mungkin karena kita sudah lama tidak bertemu," aku masih saja merendah. Perlahan suasanya mencair. Rasa canggung sedikit demi sedikit hilang. Ku lawan rasa sakit hati yang aku simpan rapat-rapat. Semua melebur dengan rasa rinduku yang membuncah. Hari itu, kuhabiskan waktu bersamanya.
"Dek, Jogja nampaknya kurang bersahabat denganku."
"Kenapa mas?" tanyaku.
"Dia tak kembali." Kali ini mas Seno menatapku sangat dalam. Aku bisa merasakan apa yang dia rasakan. Dia pasti merindukan kekasihnya. Pengganti diriku. Namun katanya penggantiku itu pergi entah kemana. Tanpa kabar. Tanpa berucap. Meninggalkan mantan kekasihku. Mas Seno.
"Rahma?" tanyaku memastikan. Ya, aku mengenal Rahma. Wanita itulah yang telah menggantikan posisiku membangun impian bersama Mas Seno.
"Kukira saat aku kembali lagi kesini dia akan menyambutku dengan hangat. Kukira aku akan bisa melihat tawanya lagi. Tapi ternyata dia serapuh ini. Dia menyerah dengan jarak yang menguji."
Tanpa rasa bersalah dia terus saja bercerita tentang kekasihnya dan tak sedikit pun menilik perasaanku, memperdulikan aku. Dia ditinggalkan ketika rasa sayangnya sedang menggebu-gebu. Sama seperti dia meninggalkanku dulu. Bedanya tak sedikitpun aku membencinya. Mungkin rasa cinta mengalahkan kebencian.
"Kamu mau menemaniku ke kosnya?"
"Untuk apa?"
"Aku akan mengembalikan barang yang sudah ia berikan untukku, setidaknya aku akan sedikit melupakannya."
Aku mengangguk tanda setuju. Tanpa memesan makanan atau minuman kami keluar dari tempat makan yang menyimpan banyak kenangan tentang aku dan Mas Seno. Sebelum menuju kos Rahma, aku dan Mas Seno menuju kos ku untuk menaruh sepeda motorku. Setelah sepeda motorku ku parkir di teras kos, kami bergegas. Dia memacu sepeda motornya dengan kecepatan sedang. Siang itu Jogja tak begitu ramai. Masih sama seperti biasa. Aku masih diam, merasa cemburu.
"Kamu ngga kenapa-kenapa dek?" tanyanya sambil mengarahkan spion sepeda motornya ke wajahku sehingga wajahku terlihat walaupun ia tak menoleh ke belakang.
"Enggak, aku nggak kenapa-kenapa mas," aku berkelit.
"Sepertinya kamu cemburu," begitu katanya diikuti gelak tawanya.
"Idiiih siapa yang cemburu? Enggak!"
"Bercanda dek."
Sebentar lagi kami akan sampai di kos Rahma. Memang benar aku cemburu. Tapi tidak mungkin aku akan berkata secara gamblang kepada Mas Seno. Kami berhenti di sebuah bangunan rumah dengan pagar yang besi yang besar. Iya, kos Rahma. Mesin motor dimatikan. Aku turun diikuti Mas Seno. Ku lihat dia berjalan ragu memasuki gerbang. Tapi aku juga melihat usaha kerasnya untuk melupakan penggantiku itu. Pelan tapi pasti dia melangkah. Sesekali menoleh kearahku dan tersenyum. Ku balas senyumannya. Getir. Kulihat dia menyerahkan bungkusan kepada seseorang tapi aku tahu itu bukan Rahma. Aku sedikit lega. Sebuah drama dimana aku, Mas Seno dan Rahma akan bertemu tak terjadi. Setidaknya aku tak akan menjadi sakit ketika melihat sebuah kenyataan di mana Mas Seno akan memeluk Rahma, meninggalkan ku di tempat itu. Ah, pikiranku melayang jauh.
"Sudah dek, sudah ku titipkan barang itu kepada temannya. Ayo naik, kita cari tempat yang enak buat ngobrol." Aku mengangguk sekenanya, masih menutupi rasa sakit yang tak bisa aku sembunyikan.
"Kita mau kemana mas?" tanyaku.
"Kemana saja yang penting sama kamu."
Sepeda motor kesayangannya terus saja membelah kota Jogja. Sepertinya aku tahu dimana tempat yang dia maksud. Alun-alun selatan Jogja. Salah satu sudutnya merupakan tempat favorit aku dan dia ketika sore hari. Tempat sederhana menjadi istimewa jika bersama Mas Seno.
"Turun."
"Kita hanya di sini mas?" tanyaku meyakinkan.
"Iya," jawabnya singkat. Kemudian kami menuju tempat duduk yang masih kosong yang tersedia di pinggir alun-alun.
"Nanti kamu langsung pulang ke Semarang Mas?"
"Iya, keluargaku pasti sudah menunggu di sana."
"Lalu kapan kamu akan kembali ke sini?"
"Entah. Mungkin beberapa tahun lagi. Aku juga harus segera kembali ke Kalimantan."
"Kita selalu dipermainkan waktu," ucapku lirih dengan pandangan kosong lurus kedepan.
"Apa katamu?"
"Iya, kita selalu di permainkan waktu. Waktu selalu membatasi pertemuan kita."
Mataku berkaca-kata. Air matanya ingin keluar tapi kucegah. Ku seka lembut dengan tanganku agar tak menetes. Agar Mas Seno juga tak mengetahui jika aku terlalu dalam takut berpisah dengannya.
"Waktu bukan milik kita dek, kita hanya pemeran. Kita hanya manusia-manusia yang selalu menyalahkan waktu. Padahal waktu tak salah. Waktu tak bisa berhenti, tak bisa pula berjalan cepat ataupun lambat. Seharusnya kita yang bisa mengendalikan diri agar dapat beriringan dengan waktu. Semoga waktu bisa memberi kita kesempatan untuk bertemu lagi."
"Kapan?"
"Aku tak berhak menentukan."
"Semoga waktu selalu baik kepada kita, seperti Tuhan yang selalu baik kepada hamba-Nya."
Aku tak mampu melanjutkan kata-kataku. Aku takut air mata ini akan benar-benar jatuh terurai. Aku enggan pertemuanku dengan Mas Seno hari ini menimbulkan air mata. Kini mata kami lurus memandang ke arah dua beringin besar yang berada di tengah alun-alun.
Tak terasa senja mulai menyapa. Orang-orang mulai berdatangan untuk sekedar mencari hiburan. Ada yang membawa anaknya bermain sepeda, ada wisatawan yang mencoba melewati beringin kembar dengan mata tertutup, bahkan ada pula yang hanya duduk-duduk seperti kami. Mereka tampak senang. Berbeda denganku. Sebentar lagi akan berpisah dengan orang yang kusayang. Tak dapat ditentukan kapan lagi kami akan bertemu. Aku pasrah dengan hati yang luluh lantah.
"Sudah sore, ku antar kamu ke kos untuk mengambil sepeda motor. Aku juga harus segera pulang agar tak terlalu malam sampai Semarang." Aku hanya mengangguk. Dengan enggan aku berjalan menuju motor yang diparkir tak telalu jauh dari tempat kami duduk. Mas Seno memacu sepeda motornya dengan kecepatan pelan. Agar dapat menikmati sorenya Jogja sebelum ia pergi katanya.
"Kamu nanti hati-hati di jalan mas, jangan ngebut. Satu lagi kalau sudah sampai cepat hubungi aku."
"Iya dek. Kamu masih sama tak berubah."
"Maksudnya?" aku nampak bingung dengan pernyataan Mas Seno.
"Iya, kamu masih terlalu khawatir dengan ku," ucapnya singkat.
"Emm...." Belum sempat aku membela diri Mas Seno mengajukan pertanyaan yang sulit kujawab.
"Apa semua rasa sayangmu masih ada?"
Tentu. Semua rasa sayang itu masih utuh. Bahkan ketika dia bahagia dengan penggantiku, aku turut mendoakan. Ketika dia sedih aku lebih sedih. Ketika sakit aku pun ikut merasakan sakit itu. Tapi dia tak sadar. Dia tak pernah tau dan tak pernah mau tahu dengan keadaanku.
"Hah... Rasa sayang? Masih mas tapi lebih tepatnya sayang sebagai sodara hehehe...." Lagi-lagi aku berkelit. Satu alasannya. Aku tak mau semua rasa yang kusimpan rapi ini bertepuk sebelah tangan. Mencintai satu pihak. Aku enggan berjuang sendirian. Sama seperti dahulu ketika ia masih menjadi kekasihku.
"Sudah mas, fokus nyetir motornya," ku alihkan pembicaraan agar suasana kembali mencair.
"Sebentar lagi sampai."
"Iya," jawabku singkat.
"Terimakasih mas sudah mengantarku, terimakasih juga untuk hari ini."
"Sama-sama dek, semoga Jogja lekas bersahabat dengan ku ketika aku kembali lagi."
Perpisahan terasa berat untuk ku namun menjadi hal yang sangat biasa untuk Mas Seno. Meski aku membenci perpisahan tak sepantasnya aku membenci langkah awal untuk meraih kebahagiaan yang sesungguhnya. Bukankah Tuhan menjanjikan pertemuan indah ketika ada perpisahan yang begitu menyakitkan. Aku masih terus tersenyum sampai punggungnya tak terlihat lagi di pelupuk mata.
Semua terasa berbeda. Rasa rindu yang awalnya tiada menjadi ada. Rasa yang seharusnya tak pantas aku berikan untuk laki-laki yang telah menghempaskan aku sekeji ini. Menganggapku tiada dan tak pernah berharga. Semua rasa ini kualami tanpa kubuat-buat. Semua berjalan dengan apa adanya.
***
Ada yang berbeda setelah ia pergi. Aku juga mempunyai hobi baru, menunggu ia mengirimkan pesan singkat untuk ku. Aku juga mempunyai kebiasaan baru, berkhayal Mas Seno akan datang lagi menemuiku dan memintaku kembali padanya. Lagi. Harapanku pupus ketika kuingat bahwa Rahma lah satu-satunya wanita yang mampu membuat ia bahagia. Bukan aku.
Aku berusaha menghibur diri. Kuambil gitar yang tersandar di kursi ruang tamu. Meski tak bisa dengan lincah memainkannya namun aku terus memahami gitar yang ada di tangan. Kupetik senarnya. Tak harmonis. Aku tak bisa memahaminya. Terlalu sulit. Sesulit aku memahami Mas Seno yang sudah seminggu tak ada kabar. Tiba-tiba layar ponselku berkedip. Panggilan masuk. Mas Seno.
"Halo." Suara dari ujung sana menyapaku, namun aku masih diam mau marah. Aku tak bisa.
"Halo mas."
"Dek maaf aku tak memberimu kabar, kakek ku sakit. Maafkan aku." Dia merasa bersalah.
"Hah?" aku terkejut tak percaya.
"Iya kakek sakit ketika aku dari Jogja," terangnya.
"Lalu bagaimana sekarang keadaannya?"
"Sudah membaik, aku sudah berada di depan rumahmmu. Bisa keluar?"
"Kamu bercanda mas?" aku tak percaya.
"Tidak, aku sudah berada di halaman rumahmu." Kumatikan telfon, bergegas ku letakkan gitar, kubuka pintu dan ternyata Mas Seno sudah benar-benar di depan rumahku.
"Aku tak bercanda bukan?" katanya dengan senyum yang khas ketika aku masih diam tak percaya.
"Bagaimana kamu bisa sampai kesini mas?" tanyaku.
"Rahasia week." Dia meledek. Aku luluh. Dengan cara yang unik dia mampu membuatku bahagia.
"Ayo masuk."
"Iya dek."
"Duduk Mas."
"Terimakasih."
"Tunggu-tunggu, kamu bohong kalau kakek sedang sakit?"
"Tidak."
"Lalu kenapa kamu bisa sampai sini lagi Mas?" tanyaku yang lagi-lagi masih tak percaya.
"Iya, aku harus mencari obat untuk kakek. Tokonya hanya ada di Jogja yang paling dekat. Sekalian aku mampir untuk melihat keadaanmu dan meminta maaf karena tak memberi kabar seminggu ini." Dia menjelaskan panjang lebar tentang apa yang telah ia alami.
"Lalu bagaimana keadaan kakek?"
"Ya sudah baik, makanya aku berani kesini"
"Syukurlah."
"Ini gitarmu?" katanya sembari meraih gitar yang berada di sampingnya.
"Iya," jawabku. Ia nampak akan memainkannya.

Kunikmati nyanyian dedaunan
Mengalun manis di mainkan angin
Mengajakku tuk kembali mengenang setahun yang lalu
Kala itu mimpiku dan mimpimu masih menyatu
kala hari saat senja kau bersandar di bahuku
Kita nikmati surya tenggelam
Dan kau tulis nama kita di atas pasir putih
Sambil kau berucap semoga cinta kita kan abadi
Andai saat ini kau ada di sisiku
Ku takkan sendiri dan sekedar mengenang kisah kita yang pernah ada
Sendiri ku kembali mencari cintaku yang hilang
Hamparan pasir putih dan ombak yang bergulung
Jingga mentari senja adakah kau simpan kisahku yang terpendam bersamamu
Yang terbenam bersamamu...

Lagu yang dia nyanyikan begitu indah, seindah ketika jari-jarinya dengan lincah memetik senar gitar milikku. Sesekali dia tersenyum memandang ke arahku. Tentunya sambil beryanyi.
"Kamu semakin jago main gitarnya mas," kataku memuji.
"Kamu semakin tembem pipinya. Baru seminggu kita ngga ketemu."
"Ha..ha..ha.. Apa hubungannya?" aku terbahak. Dia diam sejenak. Lalu menghela nafas.
"Sepertinya kamu bisa tertawa lepas hanya denganku saja."
"Ha..ha..ha.. Terlalu percaya diri kamu," begitu kataku.
"Sekarang aku sudah benar-benar di hadapanmu lagi."
"Iya, dan aku harap kamu tak akan pergi lagi Mas."
"Itu masalahnya dek, aku harus segera kembali ke Semarang. Kakek dan keluarga pasti sudah menungguku."
"Setelah kakek mu sembuh kemudian kamu akan ke Kalimantan lagi?" aku hanya memastikan bahwa dia tak akan membiarkan aku sendirian.
"Aku punya tanggung jawab di sana."
Kata-katanya menggantung. Dia nampak memainkan gitar yang masih ia pegang. Dia benar-benar kembali masuk di kehidupanku dengan status yang tak jelas. Dua tahun lalu ketika aku menggantungkan harapanku padanya dengan entengnya dia pergi begitu saja. Ketika aku sedang cinta-cintanya. Ketika sedang sayang-sayangnya. Bahkan terlalu sayang sehingga melupakannya adalah hal yang begitu pahit, begitu sakit. Dia membawa semua harapanku pergi begitu saja. Tapi kini aku luluh lantah hanya karena suara merdu yang ia keluarkan dan petikan gitar yang ia mainkan begitu menawan. Aku rindu di perhatikan. Aku rindu di perjuangkan. Aku rindu di beri kejutan manis seperti dua tahun yang lalu. Tapi aku harus tahu diri. Pria bertubuh tinggi, berkulit putih, bermata sipit, hidung yang agak mancung ini tak lagi mencintaiku. Mungkin lirik lagu yang ia nyanyikan untukku tadi ia persembahan untuk cintanya yang hilang. Seperti yang ia bicarakan pada pertemuan sebelumnya. Teruntuk cintanya yang hadir setelah aku pergi. Sulit memang untuk melupakannya. Namun sangat mudah untuk sekedar memaafkannya. Dia tak tahu bagaimana aku berjuang sendiri melawan banyaknya kenangan yang selalu berlalu lalang. Tak jarang aku juga harus berpura-pura untuk menunjukkan bahwa aku baik-baik saja. Nyatanya, aku rapuh. Aku menangis dalam diam. Mencintai pun diam-diam, dalam kesunyian. Tak ada yang tahu kecuali Tuhan yang selalu menjadi satu-satunya tempatku berkeluh kesah. Diam-diam kuberanikan hatiku untuk mengintip sedikit kenangan dua tahun yang lalu. Dimana saat itu aku bebas mengutarakan rasa cinta, melampiaskan rindu yang menggunung. Ah, dia satu-satunya pria yang mampu membuat aku cinta seperti ini. Tapi, dia juga yang mampu meracik rasa sakit yang tak ada obat penawarnya. Terlalu sering aku juga berdialog dengan Tuhan. Menceritakan segalanya, dari rasa sakit hingga rasa yang tak sanggup aku ceritakan lagi. Setelah aku mendoakan kedua orang tuaku, keluargaku aku mendoakannya. Iya, meskipun aku tahu bahwa namaku belum tentu selalu ia sebut dalam doanya kepada Tuhan. Beribu cara kutanyakan kepada Tuhan agar aku dapat mengutarakan sedikit rasa rinduku yang semakin sesak bila kutahan. Namun Tuhan masih saja diam. Aku berfikir mungkin Tuhan tak akan membiarkan aku sakit untuk kedua kalinya. Tuhan tak akan membiarkan aku kembali kepada kebodohan. Ya, mencintai lagi laki-laki yang menyakitiku, meninggalkan dan menghempaskan aku bukankah suatu kebodohan?
Mungkin juga Tuhan tahu, andaikan aku mengutarakan rinduku akan ada satu wanita yang terluka di sana. Kekasih mantanku. Wanita yang ia cintai lebih dari dia mencintai aku. Nyatanya, dia lebih memilih wanita itu dan meninggalkan aku. Sekotor itukah aku sampai-sampai aku tak lagi ia butuhkan? Selama dua tahun aku harus kesakitan melihat dengan gamblang kemesraan yang dia pamerkan bersama kekasih barunya. Sementara aku, sendiri mengais-ngais kepingan hatiku yang hancur berantakan. Mereka begitu bahagia. Sedangkan aku berusaha membahagiakan diriku sendiri dengan cara yang aku miliki. Aku jatuh, berusaha bangkit walau tertatih. Meski begitu, aku tak sedikitpun membencinya. Aku berjiwa besar untuk selalu memaafkannya. Karena aku cinta. Seperti aku cinta kepada diriku sendiri. Aku terlalu cinta kepada makhluk Tuhan yang satu ini. Aku percaya, suatu saat dia akan kembali. Dia akan menyesali perbuatannya. Entah kapan namun aku percaya Tuhan mempunyai cara untuk menunjukkan itu semua.
"Apa yang sedang kau pikirkan dek?" Dia meletakkan gitar itu tepat di sampingnya.
"Hah?"
"Apa yang kau pikirkan?" tanyanya sekali lagi.
"Tak ada mas," aku berkelit.
"Bohong."
"Sungguh. Aku tak bohong."
"Tatap mataku," perintahnya.
Hanya beberapa detik saja mata kami sudah beradu pandang. Teduh matanya yang selalu membawa ketenangan, santun tuturnya yang selalu aku rindukan. Bisa kurasakan hembusan nafasnya. Jantungku berdetak lebih kencang.
"Apa kau takut jika aku akan pergi," katanya yang membuat aku menjauhkan wajahku dengan wajah Mas Seno.
"Takut? Tak sama sekali. Bukankah kamu akan kembali ke sini jika kota ini sudah bersahabat denganmu bukan?"
"Ya, aku akan kembali lagi. Kamu sudah seperti adik ku sendiri. Tentu aku akan kembali untuk menemuimu juga."
"Iya mas," aku menjawab sekenanya. Dia hanya menganggapku adik. Orang yang tak ada apa-apanya menurutku.
"Sini mau aku nyanyikan apa lagi?" di ambil gitar yang berada di dekatnya. Ia mainkan melodinya. Sekuat apa pun aku menahan rasa sakit yang aku rasakan, aku tak merasa sanggup. Bahkan melodi yang ia mainkan sudah tak dapat membiusku ke dalam suasannya penuh cinta. Semua ini tak seindah melodi gitar. Luka ini terlalu dalam, bahkan lebih dalam ketika aku mencintainya. Aku tahu ini bukan salah dia. Mungkin ini salahku yang terlalu larut dalam cinta yang bisu. Cinta yang tak pernah kuutarakan seusai perpisahan yang menyakitkan itu. Aku selalu berdoa kelak bukan dia yang selalu aku sebut dalam dialogku dengan Tuhan. Namun nyatanya, dia menjadi parasit dalam pikiranku. Detik itu juga, aku memutuskan untuk berhenti mengharapkannya. Berhenti mengharapkan dalam diam.
 Sejak pertemuan itu aku tak mau menghubunginya. Bukan karena aku benci tapi aku tak mau menggantungkan lagi harapanku padanya. Hanya sesekali kuintip akun media sosialnya. Setidaknya aku tahu dari postingan-postingannya bahwa dia dalam keadan baik-baik saja. Akan kubuang jauh-jauh kenangan yang membuatku berjalan di tempat. Tapi aku salah. Sejauh apapun aku berlari mengindar dan pergi sejauh mungkin darinya semua tak akan hilang begitu saja. Dia masih ada di sini. Di dalam hati. Dia masih menjadi bayang kemana pun aku melangkah.
Aku bukan diriku yang dulu lagi. Aku belajar darinya. Dari masalalu yang tak ada apa-apanya untuk sekedar dikenang. Dari masalalu yang terlalu sulit untuk diingat. Aku juga belajar dari waktu, bahwa untuk sekedar melupakannya tak hanya butuh waktu satu jam, satu hari, satu minggu ataupun satu bulan. Meskipun mencintainya hanya membutuhkan beberapa detik. Jika suatu saat nanti aku dan dia bertemu di waktu yang tepat, mungkin akan banyak dariku yang berubah. Tapi sederhanaku, kebaikanku tak akan sedikitpun kuhilangkan.
Teruntuk Mas Seno, semoga kamu menemukan kebahagiaan yang sesungguhnya. Semoga kelak aku bisa lupa akan semua kenangan yang pernah terajut indah. Meski luka ku belum kering, kuharap kamu tak menciptakan luka baru yang dapat memicu kebencian padamu. Aku harus terus berjalan Mas, walau tanpa kamu. Tanpa cinta yang kau titipkan. Meski aku harus tertatih menapaki ini semua tanpamu, kuharap sekali saja kamu membawa namaku dalam doamu. Menyelipkan sebuah pesan kepada Tuhan, meminta kepada-Nya agar Dia menguatkanku. Semoga kamu sempat mengingatku.

Aku pergi membawa cinta dalam kebisuan, dalam diam, dalam doa yang sengaja kusembunyikan~